Leluhur Suku Rote Ti Tinggal di Bulan ?

257

Penulis : Johanes Yoseph Henukh

Setiap suku, bangsa, ras, etnis dan daerah memiliki ceritera mitos, legenda dan dongeng yang beragam dan khas. Namun terkadang jenis-jenis ceritera tersebut sulit dibedakan oleh masyarakat awam, bahkan ceritera yang terbagi di dalam tiga kategori tersebut dinilai mempunyai pengertian yang sama.

Menanggapi hal itu, Heri Jauhari dalam bukunya yang berjudul Folklor, Bahan Kajian Ilmu Budaya, Sastra dan Sejarah (2018), mengklasifikan cerita rakyat berdasarkan jenisnya, yakni mitos, legenda dan dongeng. Berikut deskripsi dan perbedaan mitos, legenda serta dongeng.

Pertama, mitos merupakan cerita rakyat yang dianggap sangat sakral untuk diceriterakan, (red=pemali), dan benar terjadi, diperankan oleh sosok gaib atau dianggap seperti sosok dewa dan atau setengah dewa. Latar peristiwa cerita ini biasanya berasal dari dunia lain, (red=gaib), atau bukan alam  nyata.

Ceritera mitos selalu teraplikasi pada ras, suku dan bangsa tertentu yang dalam penelusurannya rumit, termasuk budaya, adat istiadat, bahasa, peralatan perang dan karya seni lainnya.

Cerita rakyat jenis ini mengisahkan proses atau asal usul terjadinya alam semesta, binatang, manusia pertama dan sebagainya.

Beberapa contoh mitos  yang berkembang di masyarakat, antara lain, Aji Saka, Nyi Roro Kidul, Dewi Sri dan lain-lain.

Kedua, Legenda sering disajikan untuk merekonstruksi sejarah dalam ilmu pengetahuan.

Hal ini karena legenda dianggap selalu berkaitan dengan situs-situs sebagai peninggalan para tokoh legenda yang sering dijadikan fakta sejarah.

Sejumlah contoh dari legenda di masyarakat, antara lain  Gunung Bromo, Tangkuban Perahu,  Danau Toba dan sebagainya.

Ketiga, Dongeng merupakan cerita rakyat berasal dari tradisi lisan sekelompok masyarakat yang tidak dipercayai kebenarannya atau tidak dianggap benar terjadi.

Masyarakat memfungsikan dongeng sebagai alat hiburan, namun banyak juga yang bermakna didaktis, (menghibur), politis dan sindiran.

Adapun beberapa contoh dongeng antara lain Si Kancil dan Buaya, Kelinci dan Kura-kura, Anak Gembala dan Srigala, serta lainnya.

Hal tersebut sangat mengena dengan  Suku Rote Ti di Kecamatan Rote Barat Daya Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Masyarakat dalam suku ini ternyata memiliki sejumlah ceritera mitos, legenda dan dongeng yang rumit dijelaskan secara nalar atau logika.

Namun kenyataannya ditemukan sejumlah situs yang memiliki ceritera legenda, misalnya salah

satu situs Eda Huk, terletak di Puncak Gunung Kokolo Desa Soruk Kecamatan Rote Barat Daya Kabupaten Rote Ndao.

Nama gunung ini diberi nama, Kokolo dari nama seorang leluhur Suku Rote Ti bernama, Kokolo Saba, (red=leluhur penulis), yang Exodus dari ex Nusak Oe Pao, (red=versi Rote timur), sedangkan Suku Rote Ti  sebutnya, Oe Mbao.

Dari leluhur ini kemudian menurunkan beberapa sub suku, misalnya, pertama, Tulle Nara, (red=Sub Suku di ex Nusak Termanu, yaitu Dou Danga,(red=versi Termanu), sementara Rote Ti dikenalnya, Dou Dangga.

Kedua, Ketu Nara melahirkan Sub Suku Kana Ketu di ex Nusak Rote Ti. Ketiga, Saba Nara melahirkan Sub Suku Tola Umbuk, Nggau Pandi, Henu Pandi, (red=Henu La”e), Saba Pandi, (red=Saba La”e), Mbura Pandi, (red=Mbura La”e). Keempat, Ndu Saba memperanak Sub Suku Sandi. Kelima, Lay Saba menurunkan Sub Suku Meoleok.

Selanjutnya, nama. Eda Huk berasal dari dua suku kata dalam dialeg Suku Rote Ti yang berarti,”tangga naik”.

Terkait makna dari makna Eda Huk, (red=tangga naik), terdapat sepenggal syair di Rote Ti berbunyi, “Ara Bei Tuti Henur ma Ara Bei Sambu Lilor  Ara Raba Ma Ara Kai. Ara Reu Ma Ara Mai , artinya, “Mereka masih mengikat dan menyambung muti serta emas sebagai alat memanjat atau naik untuk pergi dan kembali,”.

Gambar istimewah

Penggalan syair tersebut apakah sinkron dengan apa yang dimaksud Eda Huk, (red=tangga naik ke langit). Tentu ini bila dipikir secara logika sangat tidak masuk akal tapi bagaimana pula pemahaman pembaca terhadap manusia setengah dewa atau dewa ?.

Selain itu, alkhisah yang berkembang dalam masyarakat Rote Ti hingga kini, bahwa keberadaan situs Edak Huk memiliki kisah unik dan berbau mistis serta pada tahapan ceritera tertentu dianggap sakral dan pantang untuk disebutkan.

Berikut ceritera legendanya, bahwa dahulu kala. Dalam ceritera ini tidak disebutkan secara pasti tahunnya. Hidup seorang nenek separoh baya, dikenal bernama Bei Se’uk bersama kedua orang cucu di atas Puncak Gunung Kokolo.

Karena sering makan nasi tanpa lauk. Pada suatu hari, nenek ini berkeinginan untuk pergi melaut guna mencari ikan, kepiting, gurita, kerang, keong, taripang dan sayuran disaat laut  surut.

Sebelum pergi, sang nenek berpesan agar kedua cucunya bila menanak nasi, maka ambil sepertiga dari satu biji beras.

Waktu itu  konon tumbuhan dan pepohonan masih berdaun, berbuah dan berbiji satu. Sehingga satu biji beras dapat ditanak seperdua, sepertiga, atau seperempat untuk menghasilkan nasi sesuai jumlah yang diinginkan.

Setelah itu, Be’i Se’uk pun bergegas pergi. Kepergiannya, merupakan kebebasan bagi kedua cucu leluasa bermain congkak, (red=sejenis permainan anak-anak tempo dulu menggunakan  batu kerikil yang dimasukan dalam 12 lubang kecil di atas permukaan tanah).

Asyik dan seruh dengan permainan congkak tak terasa waktu hampir menjelang sore pertanda sebentar lagi nenek mereka akan kembali dari melaut.

Maka dengan tergesa-gesa bercampur aduk ketakutan, mereka baru mulai menanak nasi tanpa mengingat pesan Bei Se’uk.

Hal itu mengakibatkan nasi yang ditanak mengembang melebihi ukuran wadah. (red=Dahulu tempat yang dipakai menanak nasi terbuat dari tanah) membuat air nasi meluap bagai banjir menuju ke laut.

Luapan tersebut ternyata membuat air laut menjadi panas sehingga mengakibatkan kulit badan Bei Se’uk terkelupas dan luka.

Hal ini membuat Bei Seuk bergegas pulang dengan penuh amarah. Setiba di rumah, Bei Seuk tanpa basa basi menghajar kedua cucunya itu dengan menggunakan sutel/irus atau sosodek, (red=sebutan dalam dialeg Rote Ti, dan langsung memukul kepala salah satu cucunya. Pukulan tersebut mengakibatkan cucunya itu berubah wujud menjadi kera/kode/monyet

Gambar istimewah

Sedangkan satunya mendapat pukulan pada bagian pantat sehingga berubah menjadi burung tekukur.

Gambar istimewah

Hingga saat ini oleh para orang tua di kalangan Suku Rote Ti mempercayai  jenis burung ini bila merindukan nenek Bei Seuk selalu memanggil nama Bei Seuk, dengan suara  yang terdengar jelas, “Seuk kou-kou kou”.

Lebih dari itu, sampai dengan saat ini, kalangan Suku Rote Ti juga masih mempercayai, (red=tidak boleh), memukul anak menggunakan sosodek.

Berawal dari pemukulan terhadap kedua cucunya, lalu Bei Seuk pun pergi meninggalkan mereka dengan memungut alat pintal benang, mengajak seekor anjing kesayangannya dan menaiki tangga, (=edahuk) ke langit.

Tiba di langit, Bei Seuk lalu menarik tangga/eda huk maka tidak ada lagi perkunjungan ke bumi dan langit.

Saat itu, menurut tuturan sejumlah tetua di ex Nusak Rote Ti, langit dan bumi saat itu masih berjarak sejingkal dan baru menjauh dari bumi, pasca peristiwa ini.

Suku Rote Ti pun selalu mengagung-agungkan Bulan dan Matahari dalam syair tertentu, misalnya mereka menyebut,” Bulak Mana Ketu Parani ma Mane Sain mana suri Sui, artinya, ” Bulan pemberi kekuatan dan matahari pembagi harta  kekayaan,”.

Untuk mengenang kedua benda langit tersebut sebagai simbolnya dalam mendirikan rumah adat atau tinggal, selalu ada dua tiang nok, (red=penyangga). Kedua tiang ini juga dipercaya sebagai simbol nenek dan moyang mereka.

Lebih dari itu, sebelum masuknya agama Kristen ke Pulau Rote, kepercayaan itu dianggap sangat sakral dan mistis. Dan dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan selain kekuatan kekebalan dan kekayaan juga lainnya sesuai kebutuhan.

Biasanya pada salah satu tiang nok diikatkan kain merah dan menggantung sebuah botol yang terisi moke atau sopi.

Menyambung hal ini dalam tuturan silsilah Suku Rote Ti diuraikan pula bahwa pada leluhur Lusi Oka, (seorang Perempuan), pergi dan menetap di kayangan/langit ke-9, dan melakukan perkawinan dengan Ndela Olanda, lalu memperanak Silu Ndela, (Pusara Petir).

Sementara, sekedar diketahui, penulis yang kesempatan dalam penelitian di atas Gunung Kokolo, situs Eda Huk berbentuk seperti Punden Berundak diameternya dari bawa sebesar ukuran sebuah rumah besar.

Di sekitarnya tidak ditemui tumbuh pepohonan. Pada bagian depan sebelah kiri terlihat sebuah kuburan kuno tapi tidak diketahui siapa pemilik kuburan tersebut.

Terkait benar atau tidak ceritera ini, tetapi pengakuan Neil Armstrong, salah seorang Astronot Amerika Serikat, yang pernah sampai di bulan Tahun 1968, bahwa saat, Apollo 11 mendarat di bulan, mereka melihat makluk-makluk aneh menatap mereka dari bebatuan cadas, kemudian lari menjauh dan menghilang.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh pemberitaan sebuah media online nasional SINDO news.com, tertanggal, 14 Agustus 2014, pada rubrik internasional, dengan judul, Heboh, Makhluk Aneh Muncul di Bulan, bertempat di Washington, dikatakan bahwa makhluk aneh tersebut diyakini adalah alien yang muncul di permukaan bulan.

Hal yang sama, dikutip dari salah satu media online ternama di Indonesia, Suara.com, mengungkapkan – Bulan saat ini tandus dan sepi, tetapi jutaan tahun silam satelit Bumi itu diduga pernah memiliki kehidupan, demikian dikatakan para ilmuwan dari Washington State University, Amerika Serikat.

Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Astrobiology baru-baru ini, pakar astrobiologi Dirk Schulze-Makuch, menduga kehidupan pernah berkembang di Bulan dalam dua periode berbeda.

Menurut Schulze-Makuch, kondisi permukaan Bulan sangat cocok mendukung perkembangan mahluk-mahluk hidup sederhana sekitar 4 miliar tahun lalu – ketika ia baru saja terbentuk – dan pada 3,5 juga tahun lalu, saat aktivitas vulkanis di Bulan sedang tinggi-tingginya.

Pada dua periode itu, Bulan memuntahkan banyak gas bersuhu tinggi, termasuk uap air, ke permukaannya. Gas dalam jumlah besar ini, terang Schulze-Makuch, diduga telah membentuk danau-danau dan atmosfer di Bulan selama jutaan tahun.

“Jika air dan atmosfer ada pada periode awal Bulan dan bertahan dalam waktu cukup lama, maka menurut kami permukaan Bulan pernah memiliki kehidupan, meski tidak permanen,” jelas Schulze-Makuch.

Untuk mencapai kesimpulan itu, Schulze-Makuch menganalisis sejumlah penelitian terhadap contoh batuan dan tanah yang diambil dari Bulan. Sampel-sampel itu menunjukkan bahwa Bulan tak sekering atau segersang yang diduga sebelumnya.

Pada 2009 dan 2010, tim peneliti internasional menemukan ratusan juta ton air dalam bentuk es di permukaan Bulan.

Selain itu juga ditemukan bukti kuat adanya air dalam jumlah besar di mantel Bulan. Kandungan air itu diduga merupakan sisa-sisa dari awal terbentuknya Bulan.

Bulan juga tadinya diyakini diselimuti medan magnet, mirip seperti Bumi. Medan magnet melindungi mahluk hidup dari angin Matahari yang mematikan.

Schulze-Makuch menduga kehidupan di Bulan dibawa oleh meteor.

Di Bumi sendiri ada dikenal cyanobacteria, yang fosilnya berusia 3,5 sampai 3,8 miliar tahun. Bakteri ini diduga dibawa oleh meteor, yang menghempas Bumi dan melemparkan serpihan-serpihan kecil ke Bulan.

Schulze-Makuch, meski demikian, mengakui bahwa untuk membuktikan dugaannya itu perlu digelar “ekspolrasi agregsif” di Bulan. (Phys.org)

Begitu juga dengan media CNN Indonesia.com yang mempublish Rabu, 25 Jul 2018 08:10 WIB, dengan judul berita, “Peneliti Ungkap Tanda Kehidupan di Bulan Milliaran Tahun Lalu,” Jakarta, CNN Indonesia -Studi terbaru yang diungkap oleh peneliti dari Washington State University dan University of London bahwa bulan sempat menjadi tempat hunian bagi makhluk hidup jutaan tahun lalu.

Meski saat ini permukaannya kering dengan temperatur fluktuatif, namun bulan diduga pernah menjadi tempat yang layak huni pada dua periode yakni ketika baru terbentuk dan saat mencapai puncak aktivitas vulkanik.

Dugaan mengenai adanya kehidupan di bulan diungkap setelah adanya temuan sumber panas dan energi dalam jumlah besar. Bulan terbentuk dari puing-puing setelah Bumi bertabrakan dengan protoplanet bernama Theian.

Setelah tabrakan itu, terdapasat uap air dalam jumlah sangat banyak yang seharusnya cukup untuk membuat bulan memiliki atmosfer dan air di permukaannya.

Aktivitas vulkanik yang tinggi juga menyebabkan atmosfer bulan disokong oleh uap air berasal dari bagian dalam perut bulan. Peristiwa ini diduga terjadi sekitar empat miliar tahun lalu, sehingga menjadikan bulan sebagai tempat berkembang biaknya mikroba.

Namun, setelah jutaan tahun atmosfer dan kandungan airnya mengering menjadikannya sebagai tempat kering dan tak layak huni lagi.

Kemudian, sekitar 500 juta tahun setelahnya, aktivitas vulkanik di bulan memuncak yang menyebabkan keluarnya miliaran ton gas yang sanggup membentuk lapisan atmosfer baru dan kembali menghadirkan air di permukaannya. Periode ini diperkirakan bertahan selama beberapa juta tahun.

“Sangat memungkinkan bahwa pada periode ini bulan layak dihuni,” kata Dirk Schulze-Makuch dari Washington State University seperti dikutip dari New Atlas.

“Bisa saja ada mikroba yang berkembang digenangan-genangan air di bulan sampai permukaannya kering dan mati.”

Hingga saat ini, dugaan adanya kehidupan di bulan masih sebatas teori. Namun peneliti mengatakan bahwa misi ke bulan di masa depan dapat mencari sampel yang bisa membuktikan bahwa pernah ada air dan kehidupan di sana. (evn/evn).

Tulisan ini tidak ada kaitan dengan kepercayaan apapun atau sengaja dituliskan untuk  mempengaruhi anutan siapapun dalam bentuk apapun pula, ini murni adalah ceritera Suku Rote Ti, yang baru “hilang” sekitar Tahun 1990-an.

Di era Tahun 1970 hingga 1990 masih sering diceriterkan atau diperdengarkan kepada anak-anak menjelang tidur pada  bulan purnama.

Kebiasaannya adalah dengan membentangkan tikar daun lontar atau daun pandan, (red=biasa dipakai untuk jemuran padi/betek/jagung), kemudian anak-anak duduk atau tidur sambil mendengarkan ceritera dari para orang tua.

Hal ini tidak hanya berlaku sekali melainkan berulang-ulang kali dan sampai larut malam, bahkan sampai anak-anak tertidur pulas.

Penulis pernah mengalami hal ini maka bila pembaca setia mengatakan ini ceritera dongeng, legenda atau mitos, tergantung sudut pandang dari pemahaman pembaca dalam mencerna tulisan ini sebab tidak ada kepentingan apapun dalam penulisan ini.

Lalu terkait, penulis yang lebih menggunakan kata versi Rote Ti atau khususnya orang Tii karena seluruh  refrensi tulisan ini berasal tuturan para tetua ex nusak Ti  di Kecamatan Rote Barat Daya.

Dalam hal ini, penulis tidak berani mengklaim atas nama Rote, sebab tidak semua daerah memiliki tuturan yang sama.  Legenda ini akan bersambung. * tamat

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.