Perspektif Orang Rote Ti Terhadap Pohon Lontar
onlinentt.com-Bagi etnis Rote secara umum, khususnya orang Rote Ti, pohon lontar memiliki manfaatnya dan keunikan tersendiri, misalnya,
1. Batang Pohon Lontar.
Batang pohon lontar dapat dijadikan usuk, papan, dan balok, yang dipergunakan sebagai material bangunan.
Pada kehidupan leluhur pohon lontar hanya dapat dipergunakan sebagai tiang penyangga rumah ataupun bangku panjang untuk duduk dan tidur.
Kini dengan perkembangan teknologi di bidang pertukangan, batang lontar dapat digunakan sebagai material mubeler atau aksesoris rumah tangga dan kantoran, misalnya meja, kursi, piring, gelas dan lainnya tergantung kreativitas pendesain dan pesanan pembeli.
Konon, dahulu kala, para leluhur mempercayai bahwa setiap orang Rote Ti yang meninggal dunia, peti matinya harus terbuat dari pohon lontar.
Bila tidak maka dipercaya arwahnya tidak dijemput oleh para leluhur yang telah meninggal mendahului di alam dunia orang mati.
Dan di era Tahun 1980-an, batang lontar masih dijadikan peti mati tetapi budaya ini kemudian terkikis oleh perkembangan zaman.
Konon juga, yang lebih dahulu mengenal batang lontar dijadikan material peti mati adalah orang Rote bagian barat.
Hal itu dapat dibuktikan dengan sebuah bahasa syair sindiran kepada salah satu suku tertentu di Rote bagian tengah, bahwa……nama suku…… mana hasa mamates.
Suku ini mendapat stigma sebagai pembeli mamates/jasad orang mati.
Dalam uraian tulisan ini, penulis enggan menyebut nama suku itu karena sejauh ini banyak anak-anak sukunya telah menjadi orang-orang terhormat atau terpandang di Kabupaten Rote Ndao.
Menurut tuturan yang penulis dapatkan, bahwa dahulu, ada dua orang leluhur suku ini yang hobbinya berburu. Suatu hari keduanya berburu ke arah barat pulau Rote dan sampailah di daerah yang diketahui saat ini, bernama ex Nusak Ti.
Kehadiran keduanya bersama dua ekor anjing yang tidak pantas penulis sebutkan nama mereka karena nama kedua anjing tersebut dipecaya sangat sakral/keramat.
Di ex Nusak Ti, kedua pemburu ini melihat kerumunan orang yang memeluk gelondongan lontar yang telah dibalut selimut dan bernyanyi sambil membanting tubuh ke sana kemari. Suara mereka merdu dan indah sekali.
Fenomena ini membuat mereka ingin mendekat guna mengetahui apa yang telah terjadi.
Setelah mendekat, keduanya semakin terperangah dan terheran-heran.
Kemudian keduanya berbisik, bahwa peristiwa ini merupakan hal baru yang belum ada di negeri mereka. Maka kedua leluhur inipun diam-diam sepakat dan berencana harus membawa gelondongan lontar yang telah berbalut selimut tersebut.
Rencana mereka akhirnya terlaksana, kedua anjing pemburu milik mereka, lalu dibarter dengan gelondongan lontar yang berbalutkan selimut tersebut.
Setelah mendapatkannya, dengan segala upaya dan susah payah, gelondongan kayu ini digotong hingga sampailah di daerah asal mereka.
Di sana, keduanya menceriterakan semua kejadian yang dilihat kepada keluarga dan family mereka.
Ceritera mereka lalu membuat keluarga dan family ikut penasaran dan mendesak agar gelondongan yang berbalut selimut ini perlu dibuka guna mengetahui apa yang ada di dalamnya.
Akhirnya, mereka pun membukanya, dan ternyata ketika selimut -selimut tersebut terbuka, gelondongan kayu yang disangka itu adalah sebuah peti yang berisikan jasad orang mati. Kemudian, hal itu menjadi aib bagi suku ini sebagai pembeli jasad orang meninggal.
2. Nira Lontar
Lebih dari itu, air atau nira pohon lontar telah dianggap sebagai pengganti air susu ibu, (asi).
Di kehidupan nenek moyang, setiap anak yang baru dilahirkan; air lontar atau gula air harus diteteskan pada pangkal lidahnya, dipecaya kelak sang anak itu dewasa nanti dan pergi merantau tidak akan pernah melupakan negeri asalnya.
Tradisi tersebut meski pun hingga hari ini tidak berlaku lagi tetapi seperti meninggalkan sebuah kekuatan magis yang masih terasa dikalangan etnis Rote secara umum.
Di mana, sehebat apapun atau sejauh mana merantau seseorang etnis Rote tetapi selalu merindukan kampung halamannnya. Bahkan selalu teringat saat minum air/nira lontar bersama sanak saudara dan family, sehingga terkadang bersedih atau menangis.
Lebih dari itu, siapapun dia baik orang kaya, miskin, pejabat atau masyarakat biasa, tetapi adalah etnis Rote atau orang Rote Ti setiap mengunjungi sanak family, keluarga, kenalan, teman atau handai touland selalu membawa gula air, gula lempeng, atau gula semut, gula hela, dalam tempat tertentu, misalnya jerigen atau lainnya sebagai ole -ole khas Rote.
Di zaman kehidupan leluhur, karena belum ada gula pasir, susu, teh dan kopi, air atau nira lontar sebagai satu-satunya minuman silahturahmi atau persatuan dengan keluarga, kerabat, teman, kawan, kenalan dan handai touland menjelang pagi, siang dan sore.
Hal yang sama, bayi yang baru dilahirkan, bila susu ibunya tidak mencukupi untuk menyusui, air atau nira lontar sebagai satu-satunya minuman pengganti asi.
Dasar itulah, air atau nira dari pohon lontar oleh etnis Rote telah dianggap sebagai pohon kehidupan yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan mereka.
Air atau nira lontar selain dapat diminum langsung juga dapat dimasak lagi menjadi gula kental atau encer yang disebut, gula air, atau dalam dialeg Rote dikenal dengan nama, tua nasu atau tua meni.
Dari tua nasu dapat diolah lagi menjadi gula lempeng, atau dalam bahasa rote disebut, tua batuk. Selanjutnya, dari tua batuk bisa diolah menjadi gula semut.
Gula air, gula lempeng dan gula semut sebagai pemanis pembuatan minuman es sirup dan lainnya serta pemanis berbagai jenis kue.
Bersambung ke episode berikutnya. Ikuti Terus Sejarah Pohon Lontar Karena hanya ada di onlinentt.com