Nara Sumber Tuturan : Arkhilaus Saleh, (62 Tahun)
Penulis : Johanes Yoseph Henuk
onlinentt.com-Rote Ndao-Bukanlah hal yang baru untuk diketahui melainkan sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa setiap suku, bangsa, ras, etnis dan daerah tentu memiliki ceritera mitos, legenda dan dongeng yang beragam dan khas. Dan dari mitos, legenda, dongeng itu terkadang jenis ceriteranya sulit dibedakan oleh masyarakat awam mempunyai kesamaan pengertian.
Heri Jauhari dalam bukunya, berjudul Folklor, Bahan Kajian Ilmu Budaya, Sastra dan Sejarah (2018), telah mengklasifikan cerita rakyat berdasarkan jenisnya, yakni mitos, legenda dan dongeng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berikut deskripsi dan perbedaan mitos, legenda serta dongeng, pertama, mitos merupakan cerita rakyat yang dianggap sangat sakral untuk diceriterakan, (red=pemali), dan benar terjadi, diperankan oleh sosok gaib atau dianggap seperti sosok dewa dan atau setengah dewa.
Latar peristiwa cerita ini biasanya berasal dari dunia lain, (red=gaib), atau bukan alam nyata yang ditinggal secara turun temurun.
Mitos selalu identik dengan ras, suku dan bangsa tertentu di mana dalam penelusurannya rumit, termasuk budaya, adat istiadat, bahasa, peralatan perang dan karya seni lainnya.
Cerita rakyat jenis ini mengisahkan proses atau asal usul terjadinya alam semesta, binatang, manusia pertama dan lain, misalnya ceritera Nyi Loro Kidul dan lain lain.
Kedua, legenda sering disajikan untuk merekonstruksi sejarah dalam ilmu pengetahuan. Hal ini karena legenda dianggap selalu berkaitan dengan situs-situs sebagai peninggalan para tokoh legenda yang sering dijadikan fakta sejarah.
Ketiga, dongeng merupakan cerita rakyat berasal dari tradisi lisan sekelompok masyarakat yang tidak dipercayai kebenarannya atau tidak dianggap benar terjadi.
Masyarakat menjadikan dongeng sebagai alat hiburan, namun banyak juga yang bermakna didaktis, (menghibur), politis dan sindiran.
Adapun beberapa contoh dongeng, misalnya Si Kancil dan Buaya dan lainnya.
Hal itu tidak jauh berbeda dengan Leo Kolek Suku Sabarai di Kecamatan Rote Barat Daya Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa Tenggara Timur, (Prov-NTT).
Dalam Leo ini ternyata memiliki ceritera mitos dari turun temurun yang rumit dijelaskan secara nalar, logika dan apalagi agama.
Dari salah seorang anak Leo Kolek, Arkilaus Saleh, (red=62 tahun), menjelaskan, bahwa ada leluhur mereka yang menjelma menjadi buaya dan sampai hari ini hidup di perairan.
Nama leluhur ini sangat kesohor dan sampai dengan saat ini terkadang masih terdengar namanya disebut oleh sebagian kalangan dalam suku Rote khususnya orang Rote TI dengan nama, “Foek”.
Ditambahkan Arkilaus dalam kesempatannya dengan penulis, mengaku sebutan “Foek” itu ditujukan kepada leluhur Modo Lele.
Leluhur Modo Lele ditambahkan Arkilaus, merupakan anak dari leluhur Ai Ana Roma. Sedangkan Ai Ana Roma anak dari Roma Lain.
Selanjutnya, Ai Ana Roma juga memiliki saudara beberapa orang, yaitu Boru Loma, pergi ke ex Nusak Dengka membentuk Leo Boluk dan Tasioe. Sementara, O’o Roma pergi dan menetap di Dusun Langga Banok Baa melebur membentuk Leo Ene dengan faham Panie. Leluhur Paisama Roma bersama salah satu saudaranya, (red=tidak diketahui namanya), exodus ke ex Nusak Ti melebur ke dalam Leo Mandato. Kemudian khusus yang tidak diketahui namannya itu, kemudian diberikan tugas menjaga rumah adat Leo Kolek di Dusun Ndoki Lain atau dikenal dengan sebutan Nggoro Beuk di Desa Oebou Kecamatan Rote Barat Daya.
Seterusnya, leluhur Ai ana Roma memperanak Lele Ai Ana, memperanak tiga orang anak, antara lain, Modo Lele, (red=laki laki), Ndoto Lele, (red=biji kacang persis kacang nasi), dan Turi Lele, (red=biji turis).
Ketika dewasa dan mengetahui kedua saudarinya adalah biji-bijian, lalu Modo Lele merasa malu, sehingga dia pun pergi dan memilih hidup di perairan laut.
Selama tiga tahun di perairan laut, lalu karena merindukan kedua adiknya, lalu dia kembali lagi ke daratan untuk menjenguk mereka.
Namun kepulangannya, ternyata telah terlihat tidak layak seperti seorang manusia lagi. Pada fisiknya, selain wajah, kaki dan tangan, Modo Lele sudah memiliki ekor persis seekor buaya.
Atas kondisi demikian, kemudian Modo Lele kepada kedua saudarinya meminta agar jangan menyebut atau memanggil dia dengan nama Modo Lele lagi melainkan dengan nama, Foe Lele karena di perairan laut dirinya sudah bergabung dengan komunitas hiu-hiu dan ikan ikan besar pemangsa atau dalam dialeg Rote TI, sebagai berikut; “boso moke au mae Modo Lele bali…moke au na mae Foe Lele Leo te au nai tasi nggeor nara au aka bua ua Foe Fandor ena”.
Lalu Foe Lele atau Modo Lele pun kembali ke perairan laut sampai dengan saat ini dan kemudian untuk mendapatkan kekayaan berkelimpahan Leo Kolek menyembah berhala kepada leluhur ini. Sehingga keberadaan rumah adat, (red=uma nitu), di Dusun Ndoki Lain/Nggoro Beuk Desa Oebou Kecamatan Rote Barat Daya jaraknya hanya lima meter dari bibir pantai. Rumah adat ini berdekatan dengan Leo Henula’e, (rumah adat Leo dari penulis).
Kisah leluhur ini mungkin bagi pembaca hanyalah mitos namun sampai saat ini masih bertahan dalam kalangan orang Rote khususnya orang Rote TI.
Bahkan lebih dari itu apabila ada buaya yang muncul mendekati perairan laut di mana ada aktivitas manusia dan takut mengganggu manusia maka bisa dilakukan pengusiran terhadap buaya tersebut dengan menggunakan kayu atau biji turis/ndoto. Hal ini masih berlaku sampai saat ini di ex Nusak Kecamatan Rote Barat Daya. Lebih dari itu, dalam Leo Kolek dalam melakukan pembakaran apapun tidak boleh menggunakan kayu turis atau ndoto. Begitu juga dalam mengkonsumsi makanan tidak boleh memakan biji turis dan ndoto. Dipercaya kalau melanggar maka akan terkena bisul borok yang sulit disembuhkan. *