Lontar Dalam Sejarah Yang Lain

- Redaksi

Rabu, 17 Februari 2021 - 15:55 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

onlinentt.com-Pohon lontar memiliki keterkaitan  sejarah yang lain, misalnya dalam penelusuran penulis Tahun 2006, ketika penulis masih sebagai wartawan salah satu media nasional, yakni Harian Sinar Pagi Nusantara Jakarta, dalam peliputan di Kabupaten Belu, berkesempatan bertemu dengan salah salah satu tokoh adat dari Janelu Kecamatan Kakulu
Kmesak, Lukas Berek, (76 tahun), dikatakan, bahwa dahulu kala, di bawa lereng Gunung Lakaan, hidup tiga kelompok suku besar bersaudara, yaitu, Sia Wa Moga Wa, Lutorato Jopato dan Lakulo Sumoro.

Ketiga kelompok mesbah besar ini mendiami daerah yang dikenal dengan nama, Tak’naban.

Kata Tak’naban terdiri dari dua suku kata dalam bahasa Tetun, yaitu, tak’ artinya,menutup/meletakan/menaruh/memakai. Sedangkan kata Naban berarti, penampung.

Sebelum datang ketiga mesbah besar, telah hidup dan menetap etnis asli yang  dinamai, Melus.

Menyambung kata Melus, di Pulau Rote sendiri, menurut tetua asal etnis Ti asal Pulau Rote, yang juga adalah salah seorang sejarawan Rote Ndao, yang telah banyak menulis dan menerbitkan sejumlah buku, tentang Rote dan Ndao, Opa Paul Haning, dalam diskusinya dengan penulis beberapa tahun lalu, mengungkapkan hal yang sama, dahulu kala, sebelum nenek moyang Rote Mau, Ti Mau dan leluhur yang lain datang ke Pulau Rote telah ada etnis lain yang mendiami Pulau Rote. Etnis-etnis tersebut dikenal dengan sebutan, Melus dan Ringge.

Ciri-ciri fisik dari orang-orang Melus dan Ringge menurut Opa Paul, sangatlah berbeda dengan etnis pendatang.

Mereka memiliki tubuh yang pendek, dahi lebar, badan berbulu panjang dan berambut keriting.

Siang atau malam hari, mereka tidak mengenakan pakaian, pekerja keras,  memiliki daun telinga yang sangat lebar, bertubuh pendek dan berlari kincang sekali.

Baca Juga :  Pulau Semau Akan Siap Sebagai Tujuan Wisata Dunia

Khusus untuk perempuan ke dua suku asli ini mempunyai payudara yang sangat besar dan panjang bisa mencapai dua meter, sehingga bila tidur, mereka selalu mempergunakannya untuk menutup tubuh saat cuaca dingin.

Keberadaan kedua rumpun ini tidak terdengar dalam tuturan silsilah orang Rote Ti. Sehingga terdapat beberapa kemungkinan, pertama, telah berintegrasi ke dalam suku-suku di ex Nusak Ti dan atau telah melebur ke dalam suku-suku lain di luar ex Nusak Ti. Kedua, apakah kedua rumpun ini telah dibantai saat rombongan Rote Mau dan Ti Mau expansi ke Pulau Rote.

Hingga hari ini belum ada literasi tuturan atau tulisan yang menjelaskan secara rinci soal hal ini.

Selanjutnya, kita kembali kepada ketiga suku besar atau mesbah.

Dalam rumpun ketiga suku pendatang, terdapat sejumlah orang yang memiliki keahlian atau skill, sebagai penyadap, baik pohon gewang, (enau), lontar, kelapa dan pinang.

Ketiga etnis ini diperintah oleh salah seorang raja yang terkenal dengan kekejamannya.

Menurut nara sumber, suatu hari dimasa itu, raja yang  berkinginan meminum tuak, menyuruh beberapa orang penyadap untuk melakukan penyadapan.

Para penyadap yang dipaksa menyadap di siang hari itu lalu pergi  melaksanakan tugasnya, namun selalu menggerutu sambil mengeluarkan kata-kata comelan sepanjang perjalanan.

Kata mereka, bahwa hanya karena kamu dipecaya sebagai seorang raja, lalu seenaknya memerintah.

Meski pun terus comel dan emosi terhadap perintah raja yang dinilai semena-mena, namun mereka tetap konsisten dan konsekuen melaksanakan tugas.

Usai menyadap, yang masih berada diatas pohon, air tuak yang telah diambil, terlebih dahulu meminumnya.

Baca Juga :  Ketua Dekranasda Singgung Kadis Pariwisata NTT Tidak Hadiri Pagelaran Seni dan Budaya di Rujab Gubernur

Sedangkan yang belum sempat, begitu turun dari pohon lontar dan kedua kaki menginjak tanah, tangannya akan meraih sambak/tempat penampung untuk minum air tuaknya.

Alasan mereka melakukan hal itu, bahwa merekalah yang telah bersusah payah memanjat, sehingga yang layak atau berhak meminum lebih dahulu bukan seorang raja.

Budaya minum air tuak oleh penyadap di atas pohon dan di bawah pohon sampai dengan saat ini masih ditemukan dalam kalangan etnis Rote secara umum khususnya orang Rote Ti.

Ternyata apa yang dilakukan para penyadap tersebut diketahui oleh orang dan disampaikanlah kepada sang raja yang membuatnya sangat marah.

Kemudian masing-masing penyadap yang mengantarkan air niranya, ditumpahkan ke tanah oleh raja dan sambak/haik, (tempat menaruh air nira), dibalikan dan ditaruh di atas kepala masing-masing para penyadap, sambil berkata, “Pergilah dari tempat ini, (red=Tak’naban), tetapi untuk tidak mengkaburkan atau menghilangkan  keturunan dan tetap mengetahui bahwa kalian dari sini, pakailah ini.

Penulis yang dari masa kecil hingga dewasa hidup di tengah keluarga sebagai penyadap melihat langsung, bahwa sangat pemali bagi etnis Rote atau orang Rote Ti kalau air tuak ditumpahkan ke tanah.

Menurut kepercayaannya, apabila seseorang tidak menghabiskan tuak yang diminum, sebaiknya, pertama, dituangkan ke tempat minum hewan/binatang  agar dapat diminum oleh mereka. Kedua, dituangkan ke dalam guci/botol/atau tempat tertentu untuk dijadikan cuka, atau dalam bahasa setempat disebut, “Dosa”.
Ketiga, dituangkan ke periuk-periuk masak di tungku agar di masak menjadi gula air/gula lontar.

Begitu pula untuk kalangan orang Rote Ti di era Tahun 1990-an, penulis masih melihat beberapa orang yang masih mengenakan haik sebagai penutup kepala pada saat bepergian ke pasar, mengikuti pemakaman, kumpul keluarga, (tu’u belis), kerja sawah, kebun, ladang, mengikuti perang tanding, melaut, menyadap dan kerja rumah adat dan rumah tinggal baru, (red=rumah tinggal mirip rumah adat).

Baca Juga :  Bima Fanggidae Silahturahmi Dengan Massa Pendukung dan Relawan

Bermuda dari peletakan haik di atas kepala kelompok penyadap dan perkataan sang raja, bahwa keluar daerah Tak’naban, membuat para penyadap bersepakat pula untuk pergi, baik penyadap enau, lontar, kelapa dan pinang.

Ada kelompok yang menyeberang laut dan ada pula yang melalui perjalanan darat.

Untuk mengetahui mereka adalah keturunan para penyadap adalah di setiap kepala mereka dalam upacara adat atau ritual tertentu, selalu mengandalkan material dari pohon enau, lontar, kelapa dan pinang sebagai aikon pendukung, misalnya daun, haik, moke dan atau sopi.

Kelompok penyadap yang melewati perjalanan darat, setelah menyinggahi beberapa tempat, lalu sampailah di pulau Rote.

Di sana, ternyata sudah ada kelompok suku yang lebih mendahului menempati Pulau Rote.

Kemudian, karena melihat ada sesuatu di atas kepala para penyadap, lalu  mereka mengatakan, Ti Langgan.

Sedangkan bagi para penyadap cukup menyebutnya dengan nama, “Su Langga/So Langga/Si Laka/Solo,” artinya penutup kepala.

Sementara, dari penelusuran tuturan lain, misalnya dikatakan, sebelum peristiwa itu, para penyadap mengenakan destar seperti suku-suku lainnya, seperti dedaunan, kulit kayu, kulit binatang, tali temali, bulu ayam, kain tenunan dan anyaman,  yang dalam syair klasiknya dikatakan, “Basas Sara Mana Sapoi nggeok Mesan”, artinya, “Semua Berpenutup Kepala Hitam”.

Bersambung ke episode berikutnya hanya ada di onlinentt.com

Berita Terkait

Lalui Perjuangan Berliku, Melelahkan Disertai Keringat dan Air Mata, Akhirnya Paket Lontar Malole, Dinyatakan Lolos Verifikasi Kelengkapan Berkas oleh KPU Rote Ndao
Silsilah Orang Rote dan Kontraversinya
Wakil Gubernur NTT Ajak Peserta Konferensi Internasional ke-58 Promosikan Pariwisata NTT
Siapa Boru Anan dan La’e Anan
Dirut TVRI Temui Wakil Gubernur Nae Soi Tingkatkan Sinergi Pengembangan Destinasi Pariwisata Prioritas
Sejarah Tempat Sirih dan Pinang  Versi Orang Rote
Episode VI, Menapaki Sejarah Pohon Lontar Versi Orang Ti
Episode V, Menapaki Sejarah Pohon Lontar Versi Orang Rote Ti
Tag :
Tetap Terhubung Dengan Kami:
Ikuti Kami Subscribe

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Berita Terkait

Kamis, 17 Oktober 2024 - 08:42 WITA

Desa Wisata Yang Berdaya Saing Harus Memiliki Keunikan Produk Wisata

Sabtu, 18 Mei 2024 - 02:31 WITA

Migel Beama Nyatakan Diri Siap Maju Sebagai Balon Wakil Bupati Rote Ndao

Jumat, 15 Maret 2024 - 07:04 WITA

Cuaca Extrim Bukanlah Kendala, Bandara D. C Saudale Untuk Tetap Beroperasi

Sabtu, 25 November 2023 - 02:24 WITA

Diskusi Terbuka AMSI What’s Next After Publisher’s Right: AI For Media: Kurang Sak Nil, Perpres Publisher Rights Akan Diteken Presiden

Jumat, 6 Oktober 2023 - 09:53 WITA

Kegiatan Workshop Pendampingan Teknis Tahun 2023 Dibuka Pj. Gubernur NTT

Kamis, 14 September 2023 - 23:39 WITA

Untuk Jamin Ketersediaan Pasokan Harga, PJ. Gubernur Pantau Harga di Hypermart

Selasa, 25 Juli 2023 - 20:44 WITA

Hadirkan Musik Berkualitas, Konser Collabonation Tour IM3 Sukses Pukau Masyarakat Kupang

Senin, 17 Juli 2023 - 01:01 WITA

Wagub JNS Ajak Semua Pihak Terus Kembangkan Koperasi Untuk Ekonomi Daerah

Berita Terbaru

Humaniora

110 Desa Belum Pertanggung Jawabkan Dana Desa ?

Selasa, 11 Mar 2025 - 08:50 WITA

Opini

Bupati Rote Ndao Minta Sekda Buat Group WhatsApp

Sabtu, 8 Mar 2025 - 01:31 WITA