onlinentt.com-Pohon lontar memiliki keterkaitan sejarah yang lain, misalnya dalam penelusuran penulis Tahun 2006, ketika penulis masih sebagai wartawan salah satu media nasional, yakni Harian Sinar Pagi Nusantara Jakarta, dalam peliputan di Kabupaten Belu, berkesempatan bertemu dengan salah salah satu tokoh adat dari Janelu Kecamatan Kakulu
Kmesak, Lukas Berek, (76 tahun), dikatakan, bahwa dahulu kala, di bawa lereng Gunung Lakaan, hidup tiga kelompok suku besar bersaudara, yaitu, Sia Wa Moga Wa, Lutorato Jopato dan Lakulo Sumoro.
Ketiga kelompok mesbah besar ini mendiami daerah yang dikenal dengan nama, Tak’naban.
Kata Tak’naban terdiri dari dua suku kata dalam bahasa Tetun, yaitu, tak’ artinya,menutup/meletakan/menaruh/memakai. Sedangkan kata Naban berarti, penampung.
Sebelum datang ketiga mesbah besar, telah hidup dan menetap etnis asli yang dinamai, Melus.
Menyambung kata Melus, di Pulau Rote sendiri, menurut tetua asal etnis Ti asal Pulau Rote, yang juga adalah salah seorang sejarawan Rote Ndao, yang telah banyak menulis dan menerbitkan sejumlah buku, tentang Rote dan Ndao, Opa Paul Haning, dalam diskusinya dengan penulis beberapa tahun lalu, mengungkapkan hal yang sama, dahulu kala, sebelum nenek moyang Rote Mau, Ti Mau dan leluhur yang lain datang ke Pulau Rote telah ada etnis lain yang mendiami Pulau Rote. Etnis-etnis tersebut dikenal dengan sebutan, Melus dan Ringge.
Ciri-ciri fisik dari orang-orang Melus dan Ringge menurut Opa Paul, sangatlah berbeda dengan etnis pendatang.
Mereka memiliki tubuh yang pendek, dahi lebar, badan berbulu panjang dan berambut keriting.
Siang atau malam hari, mereka tidak mengenakan pakaian, pekerja keras, memiliki daun telinga yang sangat lebar, bertubuh pendek dan berlari kincang sekali.
Khusus untuk perempuan ke dua suku asli ini mempunyai payudara yang sangat besar dan panjang bisa mencapai dua meter, sehingga bila tidur, mereka selalu mempergunakannya untuk menutup tubuh saat cuaca dingin.
Keberadaan kedua rumpun ini tidak terdengar dalam tuturan silsilah orang Rote Ti. Sehingga terdapat beberapa kemungkinan, pertama, telah berintegrasi ke dalam suku-suku di ex Nusak Ti dan atau telah melebur ke dalam suku-suku lain di luar ex Nusak Ti. Kedua, apakah kedua rumpun ini telah dibantai saat rombongan Rote Mau dan Ti Mau expansi ke Pulau Rote.
Hingga hari ini belum ada literasi tuturan atau tulisan yang menjelaskan secara rinci soal hal ini.
Selanjutnya, kita kembali kepada ketiga suku besar atau mesbah.
Dalam rumpun ketiga suku pendatang, terdapat sejumlah orang yang memiliki keahlian atau skill, sebagai penyadap, baik pohon gewang, (enau), lontar, kelapa dan pinang.
Ketiga etnis ini diperintah oleh salah seorang raja yang terkenal dengan kekejamannya.
Menurut nara sumber, suatu hari dimasa itu, raja yang berkinginan meminum tuak, menyuruh beberapa orang penyadap untuk melakukan penyadapan.
Para penyadap yang dipaksa menyadap di siang hari itu lalu pergi melaksanakan tugasnya, namun selalu menggerutu sambil mengeluarkan kata-kata comelan sepanjang perjalanan.
Kata mereka, bahwa hanya karena kamu dipecaya sebagai seorang raja, lalu seenaknya memerintah.
Meski pun terus comel dan emosi terhadap perintah raja yang dinilai semena-mena, namun mereka tetap konsisten dan konsekuen melaksanakan tugas.
Usai menyadap, yang masih berada diatas pohon, air tuak yang telah diambil, terlebih dahulu meminumnya.
Sedangkan yang belum sempat, begitu turun dari pohon lontar dan kedua kaki menginjak tanah, tangannya akan meraih sambak/tempat penampung untuk minum air tuaknya.
Alasan mereka melakukan hal itu, bahwa merekalah yang telah bersusah payah memanjat, sehingga yang layak atau berhak meminum lebih dahulu bukan seorang raja.
Budaya minum air tuak oleh penyadap di atas pohon dan di bawah pohon sampai dengan saat ini masih ditemukan dalam kalangan etnis Rote secara umum khususnya orang Rote Ti.
Ternyata apa yang dilakukan para penyadap tersebut diketahui oleh orang dan disampaikanlah kepada sang raja yang membuatnya sangat marah.
Kemudian masing-masing penyadap yang mengantarkan air niranya, ditumpahkan ke tanah oleh raja dan sambak/haik, (tempat menaruh air nira), dibalikan dan ditaruh di atas kepala masing-masing para penyadap, sambil berkata, “Pergilah dari tempat ini, (red=Tak’naban), tetapi untuk tidak mengkaburkan atau menghilangkan keturunan dan tetap mengetahui bahwa kalian dari sini, pakailah ini.
Penulis yang dari masa kecil hingga dewasa hidup di tengah keluarga sebagai penyadap melihat langsung, bahwa sangat pemali bagi etnis Rote atau orang Rote Ti kalau air tuak ditumpahkan ke tanah.
Menurut kepercayaannya, apabila seseorang tidak menghabiskan tuak yang diminum, sebaiknya, pertama, dituangkan ke tempat minum hewan/binatang agar dapat diminum oleh mereka. Kedua, dituangkan ke dalam guci/botol/atau tempat tertentu untuk dijadikan cuka, atau dalam bahasa setempat disebut, “Dosa”.
Ketiga, dituangkan ke periuk-periuk masak di tungku agar di masak menjadi gula air/gula lontar.
Begitu pula untuk kalangan orang Rote Ti di era Tahun 1990-an, penulis masih melihat beberapa orang yang masih mengenakan haik sebagai penutup kepala pada saat bepergian ke pasar, mengikuti pemakaman, kumpul keluarga, (tu’u belis), kerja sawah, kebun, ladang, mengikuti perang tanding, melaut, menyadap dan kerja rumah adat dan rumah tinggal baru, (red=rumah tinggal mirip rumah adat).
Bermuda dari peletakan haik di atas kepala kelompok penyadap dan perkataan sang raja, bahwa keluar daerah Tak’naban, membuat para penyadap bersepakat pula untuk pergi, baik penyadap enau, lontar, kelapa dan pinang.
Ada kelompok yang menyeberang laut dan ada pula yang melalui perjalanan darat.
Untuk mengetahui mereka adalah keturunan para penyadap adalah di setiap kepala mereka dalam upacara adat atau ritual tertentu, selalu mengandalkan material dari pohon enau, lontar, kelapa dan pinang sebagai aikon pendukung, misalnya daun, haik, moke dan atau sopi.
Kelompok penyadap yang melewati perjalanan darat, setelah menyinggahi beberapa tempat, lalu sampailah di pulau Rote.
Di sana, ternyata sudah ada kelompok suku yang lebih mendahului menempati Pulau Rote.
Kemudian, karena melihat ada sesuatu di atas kepala para penyadap, lalu mereka mengatakan, Ti Langgan.
Sedangkan bagi para penyadap cukup menyebutnya dengan nama, “Su Langga/So Langga/Si Laka/Solo,” artinya penutup kepala.
Sementara, dari penelusuran tuturan lain, misalnya dikatakan, sebelum peristiwa itu, para penyadap mengenakan destar seperti suku-suku lainnya, seperti dedaunan, kulit kayu, kulit binatang, tali temali, bulu ayam, kain tenunan dan anyaman, yang dalam syair klasiknya dikatakan, “Basas Sara Mana Sapoi nggeok Mesan”, artinya, “Semua Berpenutup Kepala Hitam”.
Bersambung ke episode berikutnya hanya ada di onlinentt.com